Pages

Selamat Datang di Weblog Batik Candi Hasil Penelitian Tim Ristek Balai Arkeologi Yogyakarta

Latar Belakang


Sebagai heritage yang harus dilestarikan dan dipromosikan untuk berbagai kepentingan, bangunan candi menyimpan berbagai makna luhur yang antara lain tercermin pada kemegahan arsitektural, teknologi pembangunan, maupun filosofi desainnya. Namun di dibalik itu, sebagai buah karya adiluhung masa Hindu-Buddha, bangunan candi ternyata juga memiliki kekayaan estetika sebagaimana tergambar pada aspek dekoratif berupa pahatan-pahatan relief maupun unsur-unsur dekoratif pada arca yang biasanya menyertai bangunan candi.

Setidaknya ada tiga kategori aspek dekoratif  berupa relief yang dipahatkan pada bangunan candi, yaitu: 1) relief cerita, adalah visualisasi cerita berdasarkan kitab keagamaan masa itu maupun visualisasi cerita bertema pendidikan; 2) Relief tanpa cerita, adalah relief yang tidak menggambarkan alur cerita tertentu, biasanya berupa bentuk-bentuk hiasan atau symbol-simbol mitologi-religius; 3) relief candrasengkala, adalah relief yang menggambarkan figur (manusia, hewan, atau mahluk mitologis) yang dapat diartikan sebagai sebuah kalimat. Kalimat ini selanjutnya dapat diterjemahkan sebagai angka yang menunjuk pada tahun tertentu.



Sementara itu, aspek dekoratif pada arca dapat dibedakan menjadi: 1) hiasan yang digambarkan pada pakaian yang dikenakan, 2) aksesoris yang biasanya juga melengkapi wujud sebuah arca, seperti gelang kaki, kalung, gelang lengan, dan mahkota; 3) hiasan yang dipahatkan pada tempat duduk dan sandaran arca.

Salah satu kawasan yang memiliki banyak bangunan candi adalah kawasan Prambanan yang meliputi wilayah Kabupaten Sleman di Yogyakarta dan Kabupaten Klaten di Jawa Tengah. Prambanan tidak sekedar ditempatkan sebagai nama sebuah candi atau nama sebuah lokasi, akan tetapi ditempatkan sebagai sebuah kawasan yang memiliki kekhasan budaya yang unik, baik sebagai objek arkeologis, objek wisata, maupun wilayah permukiman. Seluruh potensi ini dianggap sangat potensial untuk dikembangkan sebagai pusat wisata budaya yang mampu memberdayakan masyarakat setempat tanpa harus kehilangan identitasnya sejalan dengan modernisasi yang tengah dan terus berlangsung (Suryo, et.al., 1999: xii).

C.A. Lons, seorang pegawai VOC di Semarang yang pada tahun 1733 berkesempatan mengunjungi Candi Prambanan, selalu disebut sebagai “orang pertama” yang menemukan candi Prambanan (Soejono, 1990: 353; Santiko, 1992: 2; ). Sejak itu, berbagai penelitian di situs ini terus berlangsung yang dimulai pada tahun 1805 oleh H.C. Cornelis dengan pengukuran yang sistematis (Santiko, 1992: 2). Tahun 1952, Candi Çiva, salah satu bangunan utama di komples Candi Prambanan, selesai dipugar dan diresmikan dengan ditandai upacara selamatan sederhana (Kempers, 1985: 30). Sejak itu, telah dihasilkan berbagai kajian tentang situs dan bangunan ini, antara lain meliputi seni arca, arsitektur, keagamaan, dan sejarah politik Jawa Kuna. Bukan hanya itu, penelitian dan pemugaran juga meluas keseluruh kawasan Prambanan, seperti Candi Sewu, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Ijo, serta candi-candi lainnya.

Di sisi lain, beberapa ahli telah sepakat bahwa warisan budaya adalah milik masyarakat luas; dan sebagai konsekwensinya, semua kegiatan yang berkaitan dengan warisan budaya, baik berupa penelitian, penyelamatan, pengelolaan dan pemanfaatannya harus tetap mengutamakan kepentingan masyarakat luas (Tanudirjo, et.al., 1993/1994: 5). Sementara itu, berkaitan dengan pemanfaatan, Cleere (1989: 9-10) menjelaskan bahwa manajemen sumber daya arkeologi memiliki tiga tumpuan pemanfaatan, yaitu: ideologik yang terkait erat dengan pendidikan (edukasional) antara lain untuk mewujudkan “cultural identity”; ekonomik yaitu keuntungan ekonomik misalnya melalui kepariwisataan maupun pengembangan industri kreatif; dan akademik, yaitu hasil penelitian yang dimanfaatkan untuk kegiatan ilmiah lainnya maupun pengembangan ilmu.


Prambanan adalah salah satu kawasan potensial sebagai kawasan pengembangan penelitian arkeologi, sejarah, dan kebudayaan, dengan point of interest berupa situs-situs candi. Wilayah ini tidak hanya kaya akan jumlah candi, tetapi juga keragamanya, yang antara lain meliputi candi Hindu dan candi Buddha, candi dalam wujud kompleks maupun tunggal, serta keragaman berdasarkan ukurannya. Aspek dekoratif di bangunan candi-candi tersebut tidak seragam, dilihat dari aspek jenis, bentuk, kuantitas, maupun penempatannya. Tidak berlebihan rasanya jika dikatakan bahwa ragam hias pada bangunan candi dan arca di Prambanan dan sekitarnya sangat kaya dan belum tergali melalui penelitian dan pendokumentasian yang komprehensif.

 

Oleh karena itu, menjadi penting artinya untuk melestarikan dan mempromosikan kekayaan estetik heritages ini melalui pengembangan dokumen digital interaktif. Sementara itu, khusus untuk pengemasan berbasis digital, Ian Hodder (1999: 183-184) telah menyarankan pemanfaatannya untuk digunakan dalam presentasi arkeologi. Hodder antara lain mengemukakan kelebihan teknologi digital dalam interpretasi, seperti:

1)    Teknologi digital antara lain untuk virtuality dan non-linearity
2)    Virtuality berupa multi media, reconstruction on screen (the new technologies produce digital information represented on screen); “virtual archaeology” reconstruction
3)    Non-linear meliputi links, network, paths, weaving, hypertext, menu (website dan CD-I)

Kemasan dokumen digital interaktif yang ditunjang dengan kemasan cetak berupa katalog, bukan hanya ditujukan untuk mendukung pelestarian heritages, namun juga digunakan sebagai bahan promosi untuk berbagai kepentingan dan pemanfaatan. Salah satu manfaat tersebut adalah sebagai sumber pengembangan pola Batik Bayat yang ada di sekitar Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Di sisi lain, batik Bayat yang  pernah mengalami masa kejayaan di tahun 1960-an hingga 1970-an, sempat menjadi salah satu ikon yang signifikan bagi Kabupaten Klaten. Pola unggulan yang mencirikan Batik Bayat waktu itu adalah “alas-alasan” berupa hiasan yang menggabungkan antara unsur flora dan fauna. Namun, sejak akhir 1970-an, Batik Bayat seperti tenggelam dalam arus ekonomi dan industri modern yang begitu deras, termasuk industri batik, dan saat ini yang tersisa tidak lebih dari lima perajin

Melalui penelitian dan pendokumentasian aspek dekoratif pada candi dan arca di Prambanan dan sekitarnya, salah satu keluarannya adalah hasil analisis berupa pemilahan bentuk-bentuk hiasan yang dapat konversi menjadi pola batik. Keunggulan pola batik hasil konversi ini antara lain adalah: 1) Kedekatan lokasi perajin batik dengan sumber inspirasi dekoratif; 2) Bentuk dan varian hiasan tersedia dalam jumlah besar; 3) terkait langsung dengan heritages yang sudah dikenal luas; 4) tidak sekedar gambaran estetik, namun memiliki makna yang sejajar dengan makna yang terkandung pada sumber dekorasinya; 5) dapat dipromosikan secara terpadu dan resiprokal, antara kawasan Prambanan sebagai kawasan wisata berbasis arkeologi dan pengembangan kembali kejayaan Batik Bayat.

0 komentar:

Posting Komentar